Pendidikan agama di sekolah sebagai salah satu upaya pendewasaan manusia pada dimensi spiritual-religius. Adanya pelajaran agama di sekolah di satu pihak sebagai upaya pemenuhan hakekat manusia sebagai makhluk religius (homo religiousus). Sekaligus di lain pihak pemenuhan apa yang objektif dari para siswa akan kebutuhan pelayanan hidup keagamaan. Agama dan hidup beriman merupakan suatu yang objektif menjadi kebutuhan setiap manusia.
Salah satu ungkapan fisikawan terkenal, Albert Einstein adalah: ”science without religion is blind, religion without science is lame” (ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh). Seorang Einstein menyadari bahwa antara ilmu dan agama memiliki kaitan yang erat sekali dan amat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Jauh sebelum Einstein, agama Islam juga memandang penting antara ilmu dan agama. Bahkan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW justru mengandung perintah untuk menguasai ilmu dengan landasan iman (Qs. al-'Alaq/96: 1-5).
Pentingnya ilmu dan agama juga terlihat jelas dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 3 UU Sisdiknas tahun 2003 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Kriteria pertama dan utama dalam rumusan tujuan tersebut adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada TYME serta berakhlak mulia. Rumusan ini menunjukkan sistem pendidikan kita justru meletakkan agama lebih dahulu dari pada ilmu pengetahun.
Penempatan ilmu sesudah agama sesungguhnya logis dan relevan dengan karakter bangsa yang berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ketika ilmu yang lebih diutamakan akan dikhawatirkan lahirnya orang-orang pintar tetapi tidak beriman. Akibatnya, kepintaran mereka bisa menghasilkan mudharat yang lebih besar dari pada manfaat. Oleh karena itu, Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan rumusan tujuan pendidikan di atas.
Namun dalam kenyataannya, pendidikan kita masih sulit untuk mewujudkan tujuan tersebut. Munculnya berbagai kasus tindakan amoral yang tidak mencerminkan kepribadian yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia masih kerap ditemukan di negeri ini. Bahkan prilaku tersebut tidak hanya dilakukan oleh kalangan awam yang berpendidikan rendah, akan tetapi kalangan elit dan berpendidikan tinggi pun tidak luput darinya.
Munculnya fenomena tindakan amoral acap kali melahirkan imej negatif terhadap pendidikan agama. Pendidikan agama, termasuk PAI, dinilai gagal mewujudkan kepribadian peserta didik yang religius dengan karakter iman, ilmu, dan amal secara integral. Terutama di sekolah, dengan tatap muka yang relatif terbatas, PAI dianggap kurang berperan mewujudkan tujuan pendidikan yang religius.
Oleh karena itu, PAI harus memperpertegas perannya di Sekolah, terutama mewujudkan rumusan tujuan pendidikan di atas. Jika tidak, bisa jadi PAI dianggap tidak perlu, bahkan tidak menutup kemungkinan dihapuskan. Untuk mempertegas peran PAI tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, PAI bukanlah mata pelajaran tambahan (suplement), akan tetapi sebagai mata pelajaran inti. Selama ini ada kesan bahwa PAI hanyalah mata pelajaran tambahan, apalagi ketika PAI tidak masuk dalam Ujian Nasional (UN). Akibatnya, peserta didik kurang termotivasi untuk mengikuti pembelaran PAI dengan baik. Padahal PAI merupakan mata pelajaran inti. Sebagai mata pelajaran inti, pihak sekolah diharapkan memberi perhatian lebih terhadap PAI. Perhatian itu dapat diwujudkan dengan merumuskan dan menetapkan bebarapa aturan (regulasi) yang mendukung penerapan PAI, sehingga sekolah tersebut bernuansa agamis, bukan saja dalam bentuk formal, akan tetapi terjadinya proses penanaman nilai-nilai keberagamaan dalam perilaku dan kepribadian peserta didik. Selain itu, sekolah juga diharapkan menjadikan pendidikan agama sebagai bagian dari visi misi sekolah sehingga berbagai kegiatan yang dilakukan tidak terlepas dari nilai-nilai agama.
Ketika ilmu dimiliki dan dikembangkan berlandaskan kepada ajaran agama Islam, niscaya ilmu itu akan mendatangkan manfaat dan terhindar dari mudharat. Akhirnya bangsa ini pun dapat tampil lebih terhormat dan bermartabat serta mampu tampil terdepan, paling tidak sejajar dengan negera-negara maju lainnya. Insya' Allah.
Sumber:isyemetriah