"Kita lebih berhajat pada sedikit adab," ujar imam Abdulloh Ibn Al Mubarok, "dari pada sebanyak pengetahuan." Demikianlah dikala lain beliau menyatakan bahwa dirinya memerlukan waktu 30 tahun untuk belajar adab, ditambah 20 tahun untuk belajar ilmu. "adapun ilmu yang ku himpun dari seluruh penjuru raya selama dua dasawarsa," simpulnya, "sama sekali tak bernilai tanpa adab yang kulatihkan sebelumnya ."
Dalam sebuah atsaryang shahih beliau memungkasi, "hampir-hampir adab itu adalah dua pertiga agama."
Inilah kisah tentang dua orang faqih dari kalangan sahabat, ‘Abdulloh ibn ‘Abbas dan Zaid ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhuma, yang berbeda pendapat dalam banyak masalah. Salah satunya soal faraidhatau penghitungan waris.
Menurut ibn ‘Abbas, bagian kakek sama dengan ayah kala dia tiada, dan adanya kakek menghijab hak saudara. Tidak demikian menurut Zaid bagi penulis Wahyu kebanggaan orang-orang Anshar ini, kakek berkedudukan sama dengan saudara.
"Ana sa-ubahiluh," geram ibn ‘Abbas suatu ketika, "aku akan bermubahalah dengan Zaid ! Bagaimana mungkin dia bedakan bagian kakek dengan ayah tetapi tetap samakan bagian anak dengan cucu ?"
Namun ketika ada kerabat ibn ‘Abbas mengalami persoalan waris yang harus di selesaikan dengan memilih pendapatnya atau pendapat si fiqih Anshar, beliau justru mengundang Zaid ibn Tsabit untuk dimintai fatwa dalam menyelesaikannya.
Zaid pun datang dan setelah mendengar penuturan dari keluarga tentang susunan para ahli waris, beliau memutuskannya menurut pendapat ibn Abbas, bukan pendapatnya. Ketika Zaid pamit pulang, Ibn ‘Abbas menuntun keledai sang Mufti kota nabi sembari berjalan kaki, bermaksud mengantar hingga ke rumahnya. Zaid merasa tak hati dan menegurnya.
"Tak Usah begitu, duhai putra paman Rasulullah", ujar Zaid, "tak perlu Engkau menuntun keledaiku!"
"BEginilah kami diperintahkan," ujar Ibn "Abbas sambil tersenyum, "untuk memuliakan para ulama kami".
"Kalau begitu," tukas Zaid, "perlihatkanlah tanganmu, duhai sepupu Rasulullah!"
Maka ibn ‘Abbas menunjukan tangannya dan segeralah Zaid mencium serta mengecupnya dengan penuh takzim. Ibn ‘Abbas amat terkejut atas perlakuan ini dan menegur Zaid, "apa ini, wahai sahabat Rasulullah ? apa ini wahai penulis Al-Qur'an dan faqihnya kaum Anshar ?
Zaid tersenyum. "demikianlah kami di perintahkannya," jelasnya, "untuk memuliakan keluarga dan ahli bait Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam."
Moga Allah ridhoi mereka, yang luas ilmunya, dalam fikihnya, lapang dadanya, jelita Akhlaknya. Moga kita dimampukan meneladaninya. Hari ini, kita dan mereka bagai bumi dan langit dalam ilmu. Maka dalam adab dan akhlak, mari mengupayakan diri jadi cermin pemantul para menteri benderang itu.
Sumber: Majalah Ummi