"Satu setengah bulan yang lalu akhirnya ibu meratau kembali ke Medan untuk bekerja sebagai penjual bakso. Saya dan adik terpaksa hidup seadanya dari uang kiriman ibu." Kata seorang gadis berusia 16 tahun kepada tim pendayagunaan Solopeduli. Gadis belia itu bernama Betty. Kini ia duduk di kelas X SMKN 2 Sragen. Di tengah keterbatasan ekonomi, dia tetap ingin sekolah demi mengejar cita-cita.
Hidup tanpa berdampingan dengan sosok ayah dan ibu bagi sebagian besar orang amatlah sulit. Itulah yang dialami Betty dan Dilla, sang adik yang kini telah duduk di kelas II sekolah dasar. Sudah lebih dari tiga tahun mereka kehilangan ayah yang menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Sang ayah, Suroso, akhirnya harus meninggalkan istri dan dua putrinya ditengah himpitan ekonomi.
Sebelum pindah bersama kakeknya, Betty dan Dilla hidup berdua di rumah peninggalan ayahnya. Rumah tersebut berdinding gedek dan berlantaikan tanah hitam. Tak nampak ada barang berharga di dalamnya. Sementara sang ibu, Titik, harus merantau sampai ke Medan demi mencukupi kebutuhan hidup dan biaya sekolah kedua putrinya itu. "Kadang adik saya diberi makan Pak Sunardi, tetangga yang rumahnya bersebelahan dengan rumah kami. Sedangkan saya makan seadanya dari uang sisa kiriman ibu," imbuh Betty.
Baru dua minggu yang lalu Titik, sang ibu, pulang ke Sragen selama lima hari. Dia pun harus kembali ke Medan untuk melanjutkan pekerjaannya. "Dilla, adik saya akhirnya diajak ikut ibu merantau ke Medan. Saya disuruh tinggal bersama simbah saja," kata Betty. Kini Betty harus tinggal di rumah sangat sederhana milik kakeknya, Sujimin di daerah Salam, Srawung, Gesi, Sragen.
Rabu (26/10) tim pendayagunaan Solopeduli menemui Betty di sekolahnya untuk menyerahkan santunan berupa uang tunai. Setelah sebelumnya saat ditengok kerumah tinggal mereka, nampak sepi penghuni. "Terima kasih Solopeduli, santunan ini akan kami gunakan dengan baik. Saya ingin membeli peralatan sekolah baru, karena milik saya banyak yang sudah rusak," ujar Betty dengan tersenyum malu. (Wirli/Yofi)