Saya yakin setiap kita pernah menjadi tempat berkeluh kesah orang lain, entah teman atau orang yang secara kebetulan satu bangku dalam kendaraan umum saat bepergian. Ujung-ujungnya mereka biasa berucap, "Mau gimana lagi, Mas/Mbak?"
Ya. Mereka tampak menyerah pada keadaan atau keterbatasan yang dialaminya. Ketika diberikan masukan dan nasihat, mereka semakin memperlihatkan pesimisme dan ingin dimaklumi. Mereka merasa memiliki banyak keterbatasan yang menjadi penghalang kesuksesan.
Di sisi lain, ada juga yang justru menyalah-nyalahkan keadaan, bahkan menyalahkan Allah. "Kenapa hidup saya seperti ini? Allah sepertinya tidak sayang dengan saya!" Benarkah semua anggapan ini?
Sahabat, barangkali cicak atau burung camarlah yang lebih pantas protes kepada Allah. Mengapa demikian? Bagaimana tidak, cicak hanya bisa merayap di dinding. Tetapi, lihat makanan cicak. Makanan cicak seperti nyamuk dan laron merupakan hewan bersayap. Cicak yang hanya bisa merayap tetapi makanannya hewan yang bisa tebang. Tidak logis, hewan darat (tidak bisa terbang) makanannya hewan udara. Akan lebih logis, menurut kita, jika cicak juga memiliki sayap dan bisa terbang, mengingat hewan yang dimakannya pun bisa terbang.
Namun, tahukan kita bahwa akan lebih baik bila cicak tidak punya sayap? Bayangkan saja jika cicak bisa terbang maka semalaman kita melerai cicak dan nyamuk yang berkelahi. Kamar kita jadi tempat pertempuran udara setiap malam jika cicak bisa terbang.
Nyatanya masih bisa kita temui cicak di kamar kita, membantu mengurangi nyamuk-nyamuk ganas. Belum ada berita di koran, ditemukan ribuan atau puluhan cicak mati kelaparan.
Demikian pula burung camar yang hidupnya di udara (terbang) tetapi makanannya dalah ikan yang berenang di dalam laut. Betapa ramainya laut jika burung camar mencari makanan dengan menyelam layaknya ikan mangsanya. Nyatanya, burung camar masih tetap bisa makan dan hidup sampai sekarang, berkembang biak.
Seseorang mestilah mengatasi segala mentalitas yang membelenggu dirinya agar menjadi besar. Inilah syrat mutlak dalam newujudkan cita-cita. Perang terberat adalah melawan hawa nafsu. Artinya, mengalahkan apa yang ada dalam diri kita. Rasa malas, takut mencoba, tidak percaya diri dan segala mentalitas yang menghalangi kesuksesan.
Bumi, langit dengan segala isinya diperuntukkan bagi manusia. Jika diibaratkan, luasnya rezeki yang Allah anugerahkan untuk manusia layaknya air laut. Betapa banyaknya, dan terserah seberapa banyak yang akan kita ambil. Terserah pada keinginan dan kemampuan yang kita miliki.
Diibaratkan ada orang-orang yang menginginkan air laut itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bak mandi di rumah yang ia pakai untuk menampung. Namun, keinginannya tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan, karena sendok yang ia gunakan untnuk mengambil air laut. Orang-orang seperti ini seperti para peminta-minta yang malas bekerja. Jika ditanya keinginan, dia akan bisa menyebutkan segalanya. Namun, mentalitas malas dan usaha yang dilakukan menghalangnya. Karena itu, tidak mungkin bak kamar mandi (caba: keinginannya) terisi penuh (baca: cita-cita tak tercapai). Benar kata pepatah Jawa, "Ngaturake kidang lumayu," seperti mengejar kijang lari, artinya keinginan yang tidak akan mungkin tercapai.
Malulah kita dengan Allah SWT jika masih saja mengeluhkan keadaan. Padahal, betapa banyak potensi dalam diri kita yang makhluk lain tidak memilikinya. Malulah kita pada binatang melata jika masih saja mengeluhkan jumlah rezeki yang Allah berikan, apalagi pesimis dengan keadaan susah. Apakah manusia lebih lemah dari binatang melata seperti cicak hingga dia menganggap dirinya penuh dengan keterbatasan? Cukuplah Qur'an surat Hud (11) ayat 6 menjadi perenungan bagi kita semua:
"Dan tidak ada suatu binatang melata (segenap makhluk Allah yang bernyawa) pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)".
Oleh: Pariman Siregar/Master from Minder