Kita Boleh Berbeda, Tapi Tetap Bersaudara

Konon, Imam Syafi'i pernah berdebat masalah fikih dengan salah seorang ulama. Perselisihan membuat percakapan mereka berlangsung lama. Akhirnya, suara mereka meninggi, tidak ada yang bisa menundukkan satu sama lain. Raut wajah orang itu berubah. Ia seperti marah.

Tetapi, ketika forum sudah ditutup dan mereka bermaksud pergi, Syafi'i memandangi kawannya, kemudian sambil berjabat tangan ia berkata, “Tidaklah dibenarkan kita bersengketa. Kita harus tetap bersaudara.”

Pada kesempatan lain, beberapa orang ahli hadis menghadap Khalifah. Di forum itu salah seorang dari mereka membacakan sebuah hadis, tetapi ada yang merasa aneh.

“Hadis apa ini? Dari mana engkau membawanya? Apakah engkau mendustai Rasulullah saw.?

"Ini hadis,” kata orang itu mempertahankan.

“Tidak, kita belum pernah mendengar hadis ini, apalagi menghafalnya.”

Nah, kebetulan forum itu juga dihadiri seorang menteri yang cerdas. Mendengar bantahan itu, ia menoleh ke arah orang itu dan dengan tenang berkata, “Wahai Syekh, apakah engkau hafal semua hadis Nabi?”

“Tidak,” jawab orang yang merasa aneh itu.

“Apakah engkau hafal sampai separuh?” tanya sang menteri lagi.

“Mungkin.”

“Kalau begitu, anggaplah hadis ini salah satu dari separuh hadis yang tidak engkau hafal itu.”

Permasalahan pun selesai. Al-Fadhil ibn 'Iyadh dan Abdullah ibn al-Mubarak adalah dua sahabat yang tak terpisahkan. Keduanya adalah ilmuwan yang juga pezuhud.

Suatu ketika, Abdullah ibn al-Mubarak pergi berperang dan tinggal di kota yang dikelilingi benteng. Sementara itu, al-Fadhil ibn 'Iyadh tetap tinggal di Makkah, shalat dan beribadah.

Suatu hari ketika hatinya tersentuh, air mata menganak sungai. Saat itu al-Fadhil duduk beribadah di Al-Haram. Hatinya mulai ditumbuhi benih-benih kerinduan pada Ibnu al-Mubarak. Ia teringat saat mereka masih bersama di majelis zikir. Maka, al-Fadhil menulis surat kepada al-Mubarak, memintanya datang dan beribadah di al-Haram dengan banyak berzikir serta membaca Al-Quran.

Usai membaca surat itu, al-Mubarak langsung mengambil secarik kertas dan membalas al-Fadhil:

Wahai hamba al-Haramayn, kalaulah engkau melihat kami,
nanti akan tahu bahwa engkau bermain dalam ibadah
Barang siapa mata basahi pipi,
sembelihan kami bercucuran darah
Atau, kudanya untuk yang tidak baik merasa capai,
kuda kami pada pagi hari sudah lelah
Kalian punya semerbak mewangi,
kepulan debu lebih baik bagi kami
Sudah kami terima perkataan Nabi
benar, dapat dipercaya, dan tidak dusta
Tidaklah sama kepulan debu kuda Allah
di hidung seseorang dengan bubungan asap api yang menyala
Inilah Kitabullah yang berbicara di antara kita
Bukan saksi kematian yang tidak dusta

Lebih lanjut ia berkata, “Sesungguhnya di antara hamba Allah ada yang dibukakan untuknya agar berpuasa, lalu ia berpuasa tidak seperti yang lainnya. Selain itu, di antara mereka ada yang dibukakan untuknya agar membaca Al-Quran. Ada yang dibukakan untuknya agar menuntut ilmu. Ada yang dibukakan untuknya agar berjihad. Dan, ada pula yang dibukakan untuknya agar bangun malam. Tetapi, yang engkau jalani saat ini belum tentu lebih baik daripada yang aku lakukan. Dan, apa yang aku jalani saat ini belum tentu lebih baik dari yang engkau lakukan. jadi, kita sama-sama berbuat kebaikan.”

Begitulah perbedaan di antara mereka bisa diselesaikan dengan damai. Bahkan, dengan cara yang sangat sederhana, hanya dengan kalimat: kita sama-sama berbuat kebaikan. “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya” (al-Qashash: 68).

Beginilah jalan yang biasa ditempuh para sahabat.

Orang kafir berkumpul untuk memerangi umat Islam di Madinah. Mereka datang membentuk pasukan. Masyarakat Arab belum pernah melihat pasukan seperti itu, baik karena jumlah mereka yang kolosal maupun peralatan yang serba lengkap.

Untuk menghadapi mereka, umat Islam membuat parit. Tujuannya, agar mereka tidak bisa melintas dan memasuki Madinah.

Akhirnya, orang-orang kafir siaga di belakang parit.

Sementara itu, di Madinah ada Bani Qurayzhah, yaitu orang-orang Yahudi yang mengintai orang-orang mukmin. Selain telah membuat kerusakan di Madinah, mereka juga datang memberi bantuan kepada orang-orang kafir. Maka, umat Islam sibuk menahan mereka di parit.

Beberapa hari saat-saat genting itu berlalu, Allah SWT. mengirimkan badai dan pasukan dari sisi-Nya. Mereka pun porak-poranda dan berhasil dipukul mundur hingga kocar-kacir. Ekor kekalahan mereka tarik pada malam gulita.

Pagi harinya Rasulullah saw. pulang dari parit dan kembali ke Madinah. Umat Islam meletakkan senjata dan pulang ke rumah masing-masing. Setelah masuk rumah, Rasulullah saw. meletakkan senjata, kemudian mandi. Tiba-tiba malaikat jibril datang dan memanggll beliau dari luar. Karena kaget. Rasulullah saw. langung bangkit.

Malaikat Jibril bertanya, “Apakah engkau sudah meletakkan senjata, wahai Rasulullah?"

"Ya," jawab beliau.

Jibril berkata, “Para malaikat belum meletakkan senjata. Kini aku kembali dari mengejar kaum. Kami kejar mereka sampai Hamra al-Asad." Maksudnya, ketika kaum Quraisy meninggalkan Madinah menuju Makkah. para malaikat mengejar mereka akan menjauh dari Madinah.

Selanjutnya jibril berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu menemui Bani Qurayzhah.”

Maka, Rasulullah saw. segera mengumumkan, “Barang siapa mendengar dan taat, maka janganlah ia shalat asar kecuali di daerah Bani Qurayzhah."

Semua berlomba mengambil senjata masing-masing. Karena mereka mendengar dan taat, maka mereka pergi ke daerah Bani Qurayzhah. Ketika tiba waktu Asar, mereka masih dalam perjalanan.

“Kita akan shalat asar di daerah Bani Qurayzhah,” kata salah seorang dari mereka.

“Kita shalat sekarang saja.” kata sebagian yang lain.

Maka, ada yang shalat kemudian melanjutkan perjalanan, tetapi ada pula yang mengakhirkan. Setibanya di daerah Bani Qurayzhah, mereka baru shalat.

Hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW mendengar pengaduan itu, beliau tidak mencaci maki salah satu kelompok dari mereka.

Di sana Rasulullah saw. mengepung Bani Qurayzhah, sampai Allah memberikan kemenangan.

Coba perhatikan bagaimana mereka berbeda-beda tetapi tetap bersaudara. Perbedaan dan perselisihan tidak menorehkan kerusakan dalam jiwa, perpecahan, apalagi permusuhan.

Percayalah kepadaku, jika engkau bersikap tenang dan berpandangan luas ketika berinteraksi dengan orang lain, mereka akan mencintaimu. Engkau akan bisa menerobos pintu hatinya. Lebih dari itu, Allah Swt. juga akan mencintaimu. Jadi, pertikaian itu sesuatu yang tidak baik.“

Tujuan kita bukan bagaimana bisa sepakat, melainkan bagaimana tidak bertikai dan berselisih.

Oleh: Dr. Muhammad al-Arifi
Dalam buku: Nikmati Hidupmu