Berubahlah Sebelum Terlambat

“Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” Terlambat sudah pengakuan Fir'aun ini. Nyawa sudah sampai tenggorokannya. Kesombongannya sudah melampaui batas, mengaku dirinya sebagai Tuhan dan memaksa orang-orang untuk menyembah dirinya. Banyak penindasan yang telah dilakukan terhadap penduduk Mesir. Peringatan dari Musa dan Harun pun tidak digubris sama sekali; justru ancaman dia kepada keduanya.

Musa dan para pengikutnya menyingkir ke luar Mesir guna menyelamatkan diri. Hamparan Laut Merah terbelah dengan pukulan tongkatnya atas izin Allah Swt sehingga Musa dan para pengikutnya berhasil menyeberang. Laut yang terbelah kembali bersatu dengan pukulan tongkat Musa atas perintah Allah Swt, sehingga tenggelamlah Fir'aun dan bala tentaranya. Dalam keadaan yang demikian, barulah Fir'aun menyadari kesombongannya dan mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhannya Musa. Saat detik-detik itulah dia merintih berserah diri pada Allah SWT.

Kesombongan dan meremehkan sesuatu menjadi bumerang yang menghancurkan. Kita bisa belajar kembali dalam tenggelamnya Titanic. Kapal ini dianggap sebagai kapal paling aman. Kapal dengan ukuran besar itu diyakini sebagai kapal yang kuat dalam berbagai kondisi laut, ombak dan badai sekalipun. Namun sayang, kapal menabrak gunung es, akibatnya 1.513 penumpangnya tewas tenggelam dilaut. Walaupun sebenarnya sinyal adanya tonjolan gunung es sudah diberikan, tetapi kapten kapal tidak menghiraukan malah melaju dengan kecepatan tinggi. Harapannya gunung es akan hancur ditabrak Titanic, ternyata justru lambung kapal yang hancur. Kapal penyelamat yang tersedia juga terbatas, tidak sebanding dengan jumlah penumpang hingga banyak yang tidak terselamatkan.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya, ketika melihat dosa-dosanya, seorang mukmin seakan-akan duduk di bawah suatu gunung seraya takut gunung tersebut menimbunnya. Sedangkan orang durjana memandang dosa-dosanya itu bagaikan lalat yang melewati hidungnya, lalu ia mengatakan, “Hanya seperti ini'.” (HR. Bukhari)

Abdul Malik, putra kesayangan Umar bin Abdul Aziz, selain pandai dalam urusan agama, beliau juga memiliki akhlak yang mulia walaupun usianya masih muda. Suatu kali kerabatnya datang bertamu ke rumah Umar bin Abdul Aziz dan menceritakan kesannya terhadap Abdul Malik:

Di malam hari saat semuanya sedang tidur, Abdul Malik bangun melaksanakan shalat malam. Ketika sampai pada ayat 205-207 surat Asy-Syu'ara, ia mengulang-ulang hingga menangislah ia.

“Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.” (QS. Asy-Syu'ara [26]: 205-207).

Abdul Malik menyadari betul makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Kehidupan dunia ibarat seorang musafir yang mampir sejenak untuk mengisi persediaan air minum. Dia tidak semestinya terlena karena perjalanannya masih panjang, jangan sampai waktu berlalu begitu saja.

”Jadikan Anda benar-benar layak menerima kesuksesan dengan senantiasa meningkatkan kapasitas diri, bersyukur, dan berbagi dengan orang lain.”

Oleh: Pariman Siregar
Sumber: Buku “Master from Minder”