Ada tiga kisah yang paling berkesan, yang mencerminkan kecerdasan dan kezuhudannya. Al-Imam An-Nawawi, bukanlah orang yang sejak kecil selalu bemalas-malasan. Setiap hari, setiap saat, dia selalu belajar dan belajar, mengulang dan mengulang apa yang dihafalkannya. Bahkan, menginjak remaja dia tidak pernah sengaja meletakkan lambungnya di tempat tidur. Artinya, Al-Imam An-Nawawi tidak pernah menyengaja untuk tidur. Dia selalu tertidur di atas tumpukan buku-bukunya.
SERIUS DALAM BELAJAR
Suatu ketika, bersama Ayahnya, Imam Nawawi bermukim di Madinah. Hari-harinya dilalui dengan belajar dua belas mata pelajaran. Dia belajar hadist, tafsir, nahwu, bahkan ilmu kedokteran. Bayangkan! Dua belas mata pelajaran dalam sehari! Jika satu mata pelajaran saja 50 menit, maka muraja- 'ahnya selama itu juga. Belum ibadahnya. Lantas, kapan dia tidur? Dia tidak pernah tidur, kecuali untuk sesaat.
TIDAK PERNAH MAKAN APEL
Pada waktu itu, di Damaskus sedang populer buah apel. Banyak kebun di sana ditanami buah apel. Selain lezat, buah itu mencerminkan strata sosial menengah ke atas atau kalangan orang mampu, tetapi Imam Nawawi tidak pernah makan bu-ah tersebut. Ada seseorang bertanya kepadanya tentang hal itu, “Mengapa buah selezat ini tidak menarik hatimu?” Ternyata, pada waktu itu di Damaskus ada banyak sekali tanah wakaf. Akan tetapi tanah itu banyak yang hilang. Kebanyakan dari tanah itu ditanami buah apel. Imam Nawawi berkata, “Dari semua buah apel, hanya satu dari sepuluh ribu yang ditanam tidak memakai tanah wakaf,” sehingga Imam Nawawi pun enggan memakan hasil dari tanah wakaf yang hilang.
MENOLAK MENGELUARKAN FATWA DHOLIM
Di Damaskus, pada masa pemerintahan Raja Zahir Bebres, raja menghendaki sebuah fatwa dari para ulama agar dapat menghimpun dana dari rakyat untuk membeli senjata guna menghadapi serangan bangsa Tartar. Seluruh ulama memberikan fatwa tersebut, kecuali satu. Dialah Al-Imam An-Nawawi. Zahir Bebres geram. Dia memerintahkan utusannya untuk menjemput Imam Nawawi. Setelah Imam Nawawi sampai di Istana, ditanyalah dia oleh Raja Zahir Bebres, “Mengapa engkau tidak mau memberikan fatwa untuk mengumpulkan musuh islam?” Imam Nawawi menjawab, “Ketahuilah, dulu engkau hanyalah budak. Sekarang saya melihatmu memiliki banyak harta, pelayan, tanah dan perkebunan. Jika semua itu telah engkau jual untuk membeli senjata, kemudian habis sedangkan engkau masih memerlukan dana untuk mempersiapkan kaum muslimin, maka saya akan memberikan fatwa itu padamu.” Murkalah Zahir Bebres. Dia memerintahkan kepada pengikutnya agar gaji Imam Nawawi dipotong dan diturunkan dari segala kedudukannya. Ternyata, dikabarkan kepada Raja, Imam Nawawi selama mengajar tidak pernah digaji, dan dia tidak pernah menduduki posisi apapun. Dia bukanlah seorang menteri, hakim, atau apapun. Maka raja pun tersentak. Pengikutnya menyarankan untuk membunuhnya, “Engkau mempunyai kedudukan, tuanku, mengapa Engkau tidak membunuhnya saja?” Tetapi, apa kata raja? “Saya segan kepada ulama yang satu ini.” Lalu pengikutnya menyarankan untuk mengusirnya keluar dari Damaskus. Maka raja pun memerintahkan demikian. Akhirnya Imam Nawawi pergi ke suatu desa bernama Nawa. Dari sanalah dia dikenal sebagai An-Nawawi.
Ketika para ulama mengetahui bahwa Imam Nawawi diusir keluardari Damaskus, mereka berontak kepada raja. “Kami tidak mampu hidup tanpa Imam Nawawi!” Raja pun membalas, “Kembalikan dia ke Damaskus lagi!” Akan tetapi Imam Nawawi menolak kembali ke Damaskus dan berkata, “Demi Allah, saya tidak akan kembali ke Damaskus selama raja Zahir Bebres masih berada di sana.” Sebulan kemudian Imam Nawawi kembali ke Damaskus, karena Allah telah meniadakan Raja Zahir Bebres dari muka bumi.
Sumber: Majalah Al-Arabiy