Kumandangkan Adzan, Saat terjadi Tsunami Palu - Kisahnya di Palu bermula ketika, Rahmat yang bertugas di Banda Aceh berangkat ke Sulawesi Tengah pada 27 September lalu untuk mengikuti workshop di Kota Palu. Kegiatan mulai digelar pada esok harinya. Begitu tiba di Palu, Rahmat mencari penginapan. Jumat menjelang sore, Rahmat beranjak ke Swiss-Belhotel Silae di Japan Malonda Nomor 12, Silae, Palu, tempat dilangsungkannya acara.
Setelah melakukan registrasi sebagai peserta dan chek-in, Rahmat bergegas ke kamar mandi. Ia mesti bersiap. Setelah makan malam ia dan peserta lainnya harus mengikuti pembukaan Venue Festival Pesona Palu Nomoni (FPPN) 2018 pada malam harinya. Pembukaan festival kebudayaan yang diikuti pejabat setempat itu digelar di Pantai Talise, Palu. Baru beberapa saat di kamar mandi, gempa bermagnitudo 7,4 itu terjadi. Rahmat sempat beberapa kali terbanting diguncang gempa. Lokasi gempa berpusat di 0,18 LS dan 119,85 BT atau 27 kilometer Timur Laut Donggala-Sulawesi Tengah.
Sebagai orang yang pernah mengalami gempa dan tsunami di Aceh pada 2004 lalu, insting pria kelahiran Banda Aceh 18 September 1967 ini menyuruhnya untuk naik ke lantai teratas dari hotel berbintang 4 itu. Hal ini diikuti pula oleh beberapa karyawan dan penghuni hotel lainnya.
Benar saja, tak lama setelah gempa mengguncang, dari arah Teluk Palu tampak air pasang besar (tsunami) sedang mengarah ke mereka. Seluruh penghuni hotel histeris. Di lantai paling atas itulah, Rahmat mengumandangkan adzan. Ia juga melafalkan serangkaian zikir dan doa.
"Kalau kita di Aceh kan, biasanya saat terjadi bencana, apapun itu, kita orang Aceh selalu refleks mengumandangkan adzan," kisah Rahmat, kepada Liputan6.com, Minggu (7/10/2018).
Pengakuan Rahmat, ia satu-satunya orang yang mengumandangkan adzan saat bencana itu terjadi. Baginya, yang dilakukannya itu paling tidak telah menyelamatkan nyawa ayah dari lima orang anak ini. Bencana dahsyat itu terjadi sekitar sepuluh menit usai gempa mengguncang. Namun setelah air surut, Rahmat kembali turun ke lantai bawah. Saat itu, dia melihat kaca hotel hancur dan lantai satu jebol. Kakinya pun terluka akibat terkena pecahan kaca.
"Di lantai bawah hotel masih ada air selutut. Kami kemudian dievakuasi oleh manajer hotel ke sebuah bukit yang jauh dari pantai," jelas Rahmat.
Di Bukit Silae, Rahmat memaksakan diri tidur di hamparan rumput dengan perasaan was-was. Saat itu, goncangan-goncangan kecil gempa masih terjadi. Rahmat sempat mengantri untuk menaiki pesawat Hercules dengan tujuan ke Makassar. Namun berhubung banyaknya warga yang berbondong-bondong keluar dari Palu, kesempatan itu tak ia dapatkan. Empat hari lamanya ia terkatung-katung dalam kondisi kelaparan.
"Saya tidur di atas rumput. Untuk makan, saya bahkan terpaksa memungut sisa-sisa makanan milik orang yang jatuh. Roti, Biskuit dan sebagainya. Begitu pula dengan air minum untuk bertahan hidup. Tidak ada yang jualan saat itu. Uang tidak berarti," ungkapnya.
Setelah empat hari terkatung-katung, Rahmat baru ingat, ia sudah melakukan reservasi tiket untuk pulang-pergi (PP) dari Jakarta-Banda Aceh dengan hari dan tanggal pulang Senin, 2 Oktober. Hari itu ia berinisiatif mendatangi manjemen maskapai penerbangan itu. Awalnya pihak manajemen menolak memberangkatkan Rahmat, karena mereka harus memberangkatkan para penumpang yang sudah lebih dulu melakukan reservasi. Setelah melakukan dialog panjang, dan sedikit memelas, akhirnya pihak maskapai mengabulkan permohonan Rahmat. Ia transit ke Makassar pada Senin, 2 Oktober, untuk kemudian ke Jakarta dengan tujuan akhir Banda Aceh.
Di Banda Aceh, Rahmat di peusijeuk (semacam selamatan) sesaat di Kantor Wali Kota Banda Aceh. Disitu ia disambut oleh sang Wali Kota Aminullah Usman, yang juga memimpin upacara peusijuek. Rahmat baru dapat pulang ke rumah menjumpai keluarga setelah upacara itu selesai.
Sumber: liputan6