Siang itu ada telepon masuk dari seorang ibu ke kantor Solopeduli, beliau menghendaki layanan jemput donasi. Kami selaku tim jemput donasi segera meluncur ke alamat yang telah diberikan sekalian melakukan survey untuk penyaluran bantuan korban bencana banjir di wilayah Sragen. Waktu itu memang beberapa kecamatan di Sragen terkena banjir sebagai akibat meluapnya sungai bengawan solo, Banjir juga sempat memutus akses jalan Solo – Ngawi, sehingga lalu lintas dialihkan melalui Gemolong. Beberapa ruas jalan yang kami lalui masih tergenang air yang cukup tinggi, termasuk ruas jalan kampung yang tercantum pada alamat donatur tadi. Setelah beberapa kali bertanya, akhirnya ketemu alamat yang dimaksud.
Sempat timbul tanda tanya dalam hati setelah melihat kondisi rumah beliau, yang sangat jauh berbeda dengan kondisi rumah donatur yang sering dijumpai. Rumah tersebut berukuran sedang, masih berlantai tanah, dindingnya pun masih dari anyaman bambu.
Setelah mengucap salam, akhirnya kami dipersilahkan masuk. Tapi sebelum masuk buru-buru tuan rumah mencegah kami masuk,
“Sebentar mas, tadi malam air sempat masuk ke dalam setinggi di atas mata kaki” kata beliau.
Ternyata beliau mengambil beberapa pecahan batu bata dan menatanya di lantai yang masih becek sebagai alas kami masuk ke dalam,
“Tidak apa-apa bu, tidak usah repot-repot.”kata saya
Tekstur tanah di lantai rumah beliau cenderung lengket saat keadaan basah, otomatis ketika berjalan diatasnya tanah akan ikut menempel pada alas kaki
Kami dipersilahkan duduk diatas tempat tidur yang terbuat dari bambu, di dalam rumah tidak nampak barang berharga, kursi sofa, televisi, motor atau yang lain.
“Mas sebenarnya niat saya untuk ikut berinfak sudah lama, tapi baru kelakon sekarang, karena nomernya saya cari baru ketemu tadi.” kata beliau mengawali pembicaraa
Beliau kemudian memperlihatkan kepada kami salah satu halaman di Majalah HADILA (Majalah dari Solopeduli sebagai fasilitas untuk donatur) edisi tahun 2009, yang di dalamnya tercantum nomer hotline Solo Peduli
Beliau ibu Ngatinem sebagi Guru kehidupan
Saya mendapat pelajaran sangat berharga dari seorang ibu yang sederhana. Ternyata kami salah menilai beliau, jika dipandang sekilas memang beliau termasuk keluarga kurang mampu, tapi setelah dicermati ternyata beliau termasuk keluarga yang kaya, kaya dalam arti sesungguhnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rizki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta. Perlu dicamkan baik-baik bawa hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (hati yang selalu ghoni, selalu merasa cukup). Orang yang kaya hati inilah yang selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa qona’ah (puas) dengan yang diperoleh dan selalu ridho atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak tamak untuk menambah harta dan ia tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk terus menambahnya. Kondisi orang semacam inilah yang disebut ghoni (yaitu kaya yang sebenarnya).”
Walaupun beliau seorang buruh di sawah, beliau sampai sekarang masih istiqomah bersedekah. Nilai sedekah beliau juga termasuk besar, minimal 50 ribu perbulan. Padahal kita yang diberi kemampuan harta lebih terkadang masih berat untuk bersedekah, meskipun hanya dengan uang Rp. 10.000,- perbulan. Kalau kita tidak merasa malu dengan beliau, pantas kiranya kita bertanya, “Kemana rasa malu kita?”