Sejarah Rohingnya

Myanmar adalah salah satu negara yang terletak di Asia Tenggara. Myanmar merupakan wilayah yang terdiri dari banyak suku. Lebih dari 140 suku menghuni wilayah bekas koloni Inggris tersebut. Suku mayoritasnya adalah Bamar/Birma. Suku ini adalah suku kasta pertama dan memegang pemerintahan. Oleh karena itu, dulu nama wilayah ini adalah Burma kemudian berganti Mynamar.

 

Sedangkan Rohingya merupakan kelompok etnis muslim asli yang menetap di wilayah Arakan sejak abad XVI. Wilayah tersebut saat ini menjadi bagian dari Negara Bagian Rakhine, wilayah Myanmar Barat yang berbatasan langsung dengan Bangladesh. 

 

Rohingya berasal dari kata Rohai atau Roshangee yang berarti penduduk muslim Rohang atau Roshang, sebutan untuk daerah tersebut sebelum dinamai Arakan. Sejak 1942 mereka mengalami upaya pengusiran dari wilayah Arakan. Saat itu terjadi pembantaian muslim Rohingya oleh pasukan pro Inggris. Sedikitnya 100 ribu muslim Rohingya tewas dan ribuan desa hancur dalam tragedi tersebut. Sejak itu muslim Rohingya hidup dalam ketakutan.

 

Komunitas muslim mendiami wilayah Arakan (kini Rakhine) pada abad XIV. Tepatnya di Kerajaan Mrauk U yang dipimpin oleh raja Buddhis bernama Narameikhla atau Min Saw Mun. Sebelumnya, selama 24 tahun, Narameikhla diasingkan di kesultanan Bengal. Atas bantuan Sultan Bengal yang bernama Nasirudin, dia mendapatkan takhta di Arakan. 

 

Kesultanan Bengal adalah sebuah kerajaan Islam pada abad pertengahan yang didirikan di Bengal pada 1342. Daerah kekuasaan kesultanan ini mencakup wilayah negara Bangladesh saat ini, India bagian Timur, dan bagian Barat Myanmar. 

 

Setelah mendapat takhta di Arakan, Narameikhla mengucapkan Syahadat dan ganti nama jadi Suleiman Shah. Dia kemudian membawa orang-orang Bengali untuk membantu administrasi pemerintahannya. Lalu terbentuklah komunitas Muslim pertama di Arakan kala itu. 

 

Pada 1420, Arakan memproklamirkan diri sebagai kerajaan Islam merdeka di bawah Raja Suleiman Shah. Kekuasaan Arakan yang Islam itu bertahan hingga 350 tahun. Pada 1784, Arakan kembali dikuasai oleh Raja Myanmar. Tahun 1824, Arakan menjadi koloni Inggris. Sejak itulah populasi Islam di kawasan Arakan perlahan-lahan berkurang.

 

Situasi buruk umat Islam Rohingya terjadi saat Perang Dunia Kedua saat Myanmar (Birma) dijajah Inggris. Selama pemerintahan Inggris dari 1824 -1942 Arakan diizinkan memiliki tingkat otonomi daerah sendiri. Ketika itu Arakan relatif aman dan hanya ada beberapa insiden pemberontakan yang tercatat. 

 

Pada 1942, pasukan Jepang menyerang Birma dan Inggris mundur sehingga menyebabkan kekosongan besar dalam kekuasaan dan stabilitas. Saat itulah terjadi kekerasan komunal antara Muslim Rakhine dan Rohingya. Terjadi pembantaian berikutnya dari kedua belah pihak sehingga memaksa Muslim Rohingya migrasi besar ke Bengal. 

 

Setelah Burma merdeka pada Januari 1948, ketegangan antara pemerintah dengan Muslim Rohingya berlanjut dengan gerakan politik dan bersenjata. Sekitar 13.000 orang Rohingya mencari perlindungan di kamp pengungsian India dan Pakistan. Mereka ditolak hak warga negaranya untuk kembali ke Birma dan terjadilah penolakan terhadap Muslim Rohingya. 

 

Sejak periode itulah Muslim Rohingya menyandang status manusia tanpa negara. Sejak Birma merdeka pada 1948, Muslim Rohingya dikucilkan dalam hal pembangunan bangsa. Pada 1962 Jenderal Ne Win mensistematiskan penindasan terhadap Rohingya dengan membubarkan organisasi politik dan sosial mereka. 

 

Pasukan pemerintah Birma mengusir ribuan Muslim Rohingya secara brutal disertai pembakaran pemukiman, pembunuhan dan pemerkosaan. Warga Muslim Rohingnya melarikan diri ke Bangladesh untuk mendapatkan perlindungan. Hingga 1978 tercatat lebih dari 200 ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke negara itu. 

 

Upaya pengusiran Muslim Rohingya dari wilayah Arakan terus dilakukan pemerinah Birma yang kini menjadi Myanmar. Ribuan Muslim Rohingya berusaha mengungsi ke sejumlah negara. Namun Naas tak semua negara mau menerima mereka. 

 

 

Dari berbagai sumber berita.