Tujuh Kiat Keluarga Bahagia

 

Berumahtangga ada seninya. Menikah ada ilmunya. Ilmu terkait rumahtangga bisa didaptkan dari sumber inspirasi Kitab Suci, panduan Nabi maupun dari mereka yang sudah berpengalaman menjalani bahtera pernikahannya.

Dalam tulisan ini, Keluarga Cinta akan membagi tujuh kiat agar warna rumahtangga menjadi cerah, ceria, sumringah, bahagia nan barakah. Kiat ini inspirasinya kami dapatkan dari pengalaman Ustadz Muhaimin Iqbal yang telah menjalani kehidupan berkeluarga lebih dari 25 tahun. Beliau membagikan kiatnya itu di dalam buku Menikah Memuliakan Sunnah.

1. Suasana bukan Benda

Ada anggapan yang salah dari kebanyakan pasangan suami istri. Ada diantara mereka yang mengira bahwa bahagia dalam rumahnya tergantung pada benda. Alhasil, mereka mengerahkan sebagian besar potensinya untuk membeli dan mengoleksi sebanyak mungkin benda-benda mewah dan melangit harganya di rumahnya.

Padahal, benda-benda itu, selama bukan kebutuhan pokok, maka keberadaannya sama sekali tak menjamin bahagia-barakah. Kebahagiaan bagi pasangan suami-istri lebih pada adanya suasana diantara keduanya. Ketika mereka pandai mensyukuri semua yang dikaruniakan oleh Allah Swt, maha bahagi-barakah akan diperolehnya. Jika tidak, suasana sebaliknya pun akan berlaku.

2. Berbagi bukan Memberi

Memberi memang pekerjaan para pecinta. Dalam hubungan suami-istri, memberi bisa menjadi sebuah sarana untuk saling menautkan hati pasangan kepada pasangannya. Namun, dalam tahap tertentu, memberi jika dilakukan terus menerus amatlah melelahkan, jika tidak ada kata saling di dalamnya.

Maka saling memberi bermakna berbagi. Berbagi kebaikan, cinta, kasih, sayang, perhatian dan sebagainya. Ketika dalam rumahtangga sudah menyadari arti berbagi ini, maka bahagia-barakah akan datang dengan sendirinya.

3. Kini bukan Nanti

Diantara kiat bahagia adalah tidak sibuk dengan apa yang akan terjadi esok hari. Hal ini bukan bermakna tidak memikirkan masa depan. Tetapi lebih pada adanya fokus dengan apa yang ada dan mensyukuri setiap karunia hari ini untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menyambut esok.

Rumahtangga yang terlalu sibuk memikirkan esok hari, sejatinya telah menyiksa dirinya sendiri. pasalnya, perkara esok sama sekali bukan urusan kita. Kita hanya diminta untuk berupaya sebaik mungkin. Dengan begitu, Yang Mahakuasa akan memberikan apa yang terbaik menurut-Nya.

Yang terbaik tidak selalu berbentuk sesuatu yang kita sukai. Tetapi lebih pada apa yang kita butuhkan. Sibuk dengan kini sama dengan fokus pada apa yang ada dan merencanakan yang terbaik untuk esok hari.

4. Win-win bukan Menang-menangan

Permasalahan keluarga biasanya berdampak panjang dan menghasilkan banyak derivasi. Bisa jadi solusi dari permasalahan tersebut menguntungkan salah satu pihak, namun merugikan bagi pihak lain.

Dalam tahap inilah, masing-masing pihak harus mengupayakan yang terbaik. Caranya bukan dengan menang-menangan (merasa kepingin menang), tetapi harus mencari solusi bersama yang menguntungkan semua pihak. Caranya, diantaranya, tundukan egoisme dan berpikir dingin demi kebaikan bersama.

5. Ke Depan bukan Ke Belakang

Visioner juga amat diperlukan dalam berumahtangga. Maknanya merencanakan yang terbaik, melakukan sekuat mampu dan serahkan hasil kepada Yang Mahakuasa. Tentunya, dalam tiap jenak harus ada aksi yang optimal, sehingga niat dan cara yang baik tetap terjaga sesuai yang diharapkan.

Melihat ke belakang amat dibolehkan. Tapi hanya sesekali, jangan sampai mendominasi. Jika selalu melihat ke belakang (mengungkit masa lalu), yang terjadi –bisa jadi- bukan mendapat solusi, melainkan membuka luka lama dan mengizinkan masalah baru yang lebih besar untuk masuk ke dalam kehidupan keluarga kita.

6. Dibuang bukan Dipendam

Ketika ada kenangan buruk, ada baiknya untuk dibuang. Hindari memendam masalah sekecil apa pun. Upayakan ketuntasan dalam setiap bahasan. Sehingga, masalah yang sudah kelar tidak akan dibahas lagi di waktu dan kesempatan lain.

Bahaya memendam masalah, ibarat gunung yang menyimpan material panas di dalamnya. Ketika sudah memuncak dan meletus, akibat buruknya akan dirasakan oleh banyak pihak di sekelilingnya. Dalam tahap ini, keterbukaan juga amat penting. Apalagi, suami istri adalah satu ikatan. Meskipun, dalam hal-hal tertentu, terkait sesuatu yang amat rahasia –ketika berdampak baik-, maka hal itu boleh untuk tidak dibuka kepada pasangan.

7. Usaha bukan Hasil

Orientasi terhadap hasil amat dibolehkan. Asal tidak menghalalkan cara yang haram. Sebab sampai kapan pun, berproses adalah yang terbaik dan terkandung banyak hikmah di dalamnya.

Hasil amat penting ketika ia terjaga prosesnya; diawal sejak dimulai, ketika berlangsung dan selepasnya. Ini untuk memastikan bahwa semuanya berjalan sesuai rel kebaikan yang memang berlaku.

Orientasi ini menjadi sangat penting sebab tidak semua yang kita rencanakan dan usahakan berhasil secara gemilang. Karena Yang Mahakuasa selalu memiliki cara untuk menguji semua hamba-Nya. [Pirman]

Sumber:keluargacinta.com