Beda zaman pasti beda tantangannya, meskipun seringkali substansi tantangannya sama. Beda masa, beda pula masalah yang menghantuinya, meskipun kadang kadar atau bobot masalahnya hampir sama.
Sebagai orang tua yang hidup di era digital, sudah semestinya setiap orangtua terbuka dengan perkembangan teknologi yang memang cepat berubah. Orangtua yang tidak "update" alias tertinggal dengan berbagai perkembangan teknologi, bisa kewalahan dalam mendampingi pertumbuhan anak dalam arus besar teknologi.
Dua kubu yang ekstrim perkembangan teknologi bagi sebagian orangtua seperti buah simalakama. Kemajuan teknologi bisa membawa dampak positif namum bisa juga membawa dampak negatif. Korban akibat salah memanfaatkan teknologi pun sudah tidak sedikit. Seperti sebilah pisau, ditangan orang yang paham dan terampil, tentu pisau tajam tersebut dapat melahirkan karya dan membawa manfaat yang banyak. Namun, pisau tajam tersebut bisa membawa petaka, karena pemegangnya hanya tahu pisau tersebut untuk tindak kejahatan.
Rasa khawatir berlebihan, kadang menjadikan orangtua mengambil langkah ekstrim, anak dikarantina untuk tidak berhubungan dengan teknologi sama sekali. Jika iru terjadi, tentu anak tumbuh menjadi kuper dan gaptek. Anak tumbuh seperti berada di dunia lain, karena jauh dari realitas.
Di sisi lain, sebagian orangtua justru permisif terhadapa anak-anaknya. Apapun yang diminta anak diberikan, termasuk berbagai barang elektronik yang sebenarnya tidak dibutuhkan atau belum waktunya untuk diberikan. Memanjakan anak dengan barang-barang elektronik justru bisa merusak masa depan anak.
Dua kutub ekstrim tersebut, tentu bukan pilihan bijak. Memberikan barang elektronik kepada anak, seperti memberikan pilihan menu makanan kepada anak sesuai tuntutan usianya. Jika masih bayi, makanan lembut dan menyuapinya tentu langkah yang tepat. Namun saat sudah SMP, bukan langkah bijak jika masih menyuapi anak setiap mau makan.
Nilai positif teknologi di era yang serba digital ini, kita sebagai orangtua tentu juga merasa sangat terbantu dalam mendampingi belajar anak. Jika dulu untuk belajar Islam harus di pengajian atau di masjid atau di pesantren, kini di era digital semua bisa kita dapat tanpa susah-susah. Pilihan model pembelajaran pun beragam.
Teknologi meyodorkan banyak pilihan untuk menjadi lebih paham agama dan lebih shalih. Fokus masalah ternyata bukanlah kemajuan teknologi, nanum justru kesiapan dan kemampuan orangtua dalam memanfaatkan teknologi. Bagaimana orangtua bisa mengikuti dan menyerap perkembangan teknologi untuk kemudian sabar mendampingi anak memanfaatkan teknologi dengan tepat. Agar kekhawatiran Albert Einstein yang mengatakan, "Aku takut suatu hari teknologi akan melampaui interaksi manusia. Dunia akan memiliki generasi idiot" tidak akan pernah terjadi
Oleh : Supomo, SS